Cassanova (Chapter 3-END)

1015387-bigthumbnail - Copy

 

  • Title                       : Casanova
  • Scriptwriter        : Liana D. S.
  • Fandom               : f(x), Super Junior-M/ Henry Lau
  • Main Casts          : Amber Liu (Liu Yi Yun), Henry Lau (Liu Xian Hua)
  • Support Casts    : SMEnt’s China-line, Xing Zhao Lin (SMEnt’s Chinese Trainee), SNH48
  • Duration              : Three-shots (13K+ words total), in ‘Homo Homini Lupus’ series
  • Genre                   : Romance, Family, Action
  • Rating                   : NC (Not Children!)
  • Disclaimer          : Semua karakter dari SM Entertainment dan SNH48 bukan milik saya, tetapi milik Tuhan dan diri mereka sendiri. Plot sepenuhnya milik saya dan saya tidak menarik kepentingan komersial apapun dari penulisan FF ini.
  • Summary             : Seorang gadis tomboy tanpa sengaja bertemu seorang bocah violinis yang ternyata sangat mengerikan! Seperti stalker, bocah itu ada di mana pun Yi Yun berada. Apa yang akan dilakukan Yi Yun untuk menghalau bocah violinis itu pergi? HenBer romance, children go away! Second story of ‘Homo Homini Lupus’ series.

***

Part 3

Televisi mulai dipenuhi lagi oleh berita tentang Henry Lau. Comeback! Comeback! Di channel manapun, berita itu menjadi berita paling hits. Entah bagaimana, Henry mendapatkan manajemen baru yang sesuai dengan keinginannya. Ia melakukan comeback yang ditunggu-tunggu ratusan penggemarnya. Berita ini tidak hanya ada di televisi saja, tetapi juga media sosial lainnya, seperti di surat kabar dan situs berita online. Dalam waktu kurang dari dua minggu, agensi di mana Henry bernaung, yang sebelumnya seperti mati suri karena kurangnya animo masyarakat menyambut artis-artisnya, mengalami resurrection—hidup kembali. Artis-artis lain dari agensi tersebut ikut terkenal seperti Henry. Saat diwawancara, Henry mengungkapkan kebahagiaannya bisa comeback untuk para fans.

“Yah, sayangnya… ada satu hal yang belum aku wujudkan.”

Ketika ditanya apa hal yang belum diwujudkan itu, Henry hanya menggeleng dan tertawa penuh rahasia. ‘Bukan konsumsi publik’ katanya. Tentu saja bukan konsumsi publik karena hal yang belum Henry wujudkan adalah…

…membangun teritori dan membangun klan sebagai Xian Hua, sang Casanova yang memutuskan untuk menjadi pejantan alfa.

Tanpa kenal lelah, Xian Hua menandai daerah sekitar rumahnya dengan darahnya, juga menambah luas teritori. Hal ini ia lakukan setelah pulang konser. Benar kata orang bahwa bekerja keras itu ‘mencucurkan banyak keringat dan darah’. Dalam kasus Xian Hua, keringat ia cucurkan saat konser, sedangkan darah ia teteskan dalam proses menandai teritori. Selama itu, Xian Hua merasa seperti mayat hidup, bekerja siang-malam untuk meraih kehidupan yang ia dambakan, baik sebagai manusia ataupun manusia serigala. Ini adalah jalan untuk mengubah takdir, itu yang Xian Hua percayai. Kepercayaan itu yang menguatkannya. Sosok Yi Yun yang kokoh memotivasinya secara tidak langsung, menuntutnya untuk terus berusaha. Ia tidak mau kalah dengan betina; ia ingin menjadi kuat untuk Yi Yun.

Suatu malam, Xian Hua berlari dengan bersemangat menuju teritori yang telah ia tandai, yang juga secara resmi telah menjadi miliknya setelah ia mengurus semua surat kepemilikan tanah itu. Ia sudah menandai batas terluar teritorinya pada malam sebelumnya dan hanya ingin memastikan keutuhannya malam ini. Teritoriku sudah paten; tinggal membuat sarang saja! Aku akan menemui Yi Yun setelah sarang… eh… rumahnya jadi! Setelah itu, aku akan membuat klan baru dengannya! Hehe, menyenangkan!! Senyum kekanakan dan mata yang berbinar bahagia tak sedikit juga meninggalkan wajahnya. Darahnya berdesir hanya dengan membayangkan sebuah kehidupan baru yang akan dia bangun. Selamat tinggal, rasa kesepian. Selamat tinggal, wanita-wanita cantik. Selamat ti—

Lho?

“Ya, ratakan semuanya!”

Xian Hua terkejut. Pohon-pohon di hutan kecil yang ia tandai sebagai teritorinya ditebang! Padahal, pohon-pohon bisa digunakan untuk melindungi klan yang ia bangun nanti. Tanah yang bergelombang secara alami dan berbatu-batu juga diratakan, membuatnya terkesan seperti tempat tinggal manusia. Heh, memangnya sedang apa manusia-manusia itu? Kenapa masuk teritori orang sembarangan?

“Oi, kalian! Turun dari kendaraan aneh itu sekarang juga! Aku pemilik tanah ini!” marah Xian Hua pada para operator alat berat. Deru alat berat sedikit menelan suaranya, tetapi para pekerja itu masih bisa mendengarnya. Mereka tertawa dan malah menjahili Xian Huan dengan mengarahkan ‘kendaraan aneh’ mereka ke Xian Hua. “Hei, Nak, minggir dari situ kalau tidak mau tergilas! Kami akan merapikan tanah ini untuk proyek pembangunan kantor pusat EnterPrive!”

EnterPrive? Perusahaan apa itu? Yang jelas, perusahaan itu melanggar teritorinya! “Dengar, kalian akan mendapat masalah besar karena aku memiliki surat kepemilikan resmi atas tanah ini!! Kalian membangun di tanah orang lain, tau!” teriak Xian Hua dengan percaya diri, berharap orang-orang akan mundur, tetapi ternyata tidak. Orang-orang itu menganggap ancamannya adalah lelucon anak kecil. Mereka turun dari alat-alat yang sedang mereka operasikan dengan macam-macam ekspresi: kegelian, marah, dan ada juga yang bingung. “Nak, kau tidak bisa membeli tanah dengan uang monopoli,” kata salah satu dari mereka yang geli dengan sikap berani Xian Hua, “Apa ayahmu yang mengatakan bahwa tanah ini milikmu?”

Kesal, Xian Hua menendang lutut orang yang bicara dengannya itu. “Aku tidak berbohong! Aku memiliki sertifikat tanah ini, jadi kalian harus pergi!”

Orang yang ditendang Xian Hua terjatuh dan mengaduh-aduh kesakitan. Pekerja lain menjadi berang. “Anak kecil kurang ajar!”

Satu persatu dari para pekerja itu menyerang Xian Hua, tetapi Xian Hua dapat menjatuhkan mereka dengan mudah. Xian Hua menendang penyerang terakhirnya yang sudah terkapar sambil bertanya lantang, “Aku ingin bertemu bos kalian. Beri tahu aku di mana dia!”

Pekerja yang terakhir itu menunjuk ke satu arah dengan gemetar. Xian Hua membalikkan tubuhnya kasar dan melihat seorang pria paruh baya berjas hitam tersenyum sinis padanya.

“Apa kabar, Xian Hua?”

Xian Hua terbelalak. Masa lalunya terurai di hadapannya layaknya gulungan film. Ia ingat semuanya berkat wajah sialan ini—yang tak mungkin ia lupakan. Ingatan yang dulu terkubur kini terbongkar kembali.

Saat itu, Xian Hua anak berusia 6 tahun yang manis, cerdas, berbakat, dan kaya. Orang tuanya memberinya banyak kasih sayang, meskipun mereka juga sibuk dengan urusan pekerjaan. Adik dan kakak Xian Hua selalu bermain  dengannya, membuat hidup Xian Hua bahagia.

Namun, ada sekelompok orang yang tidak menghendaki kebahagiaan dalam keluarga Xian Hua. Sekelompok orang ini tergabung dalam organisasi kejahatan besar yang aksinya selalu berhasil digagalkan oleh ayah Xian Hua. Ayah Xian Hua adalah seorang polisi yang kompeten, plus dengan insting tajamnya sebagai manusia serigala, ia bisa mendeteksi dengan cepat jika ada kebusukan di sekitarnya. Sayang, pada suatu ketika, insting sang alfa tidak bekerja.

Organisasi kegelapan itu menyerang dalam skala besar ke rumah Xian Hua. Mengobrak-abriknya. Membunuh hampir semua penghuni rumah. Terakhir, membakarnya. Mereka menganggap aksi mereka berhasil, tetapi mereka salah besar. Seseorang berhasil selamat dari peristiwa mengerikan itu karena sang ibu menyelamatkannya. Dia Xian Hua yang berhasil melarikan diri dari rumah yang terbakar itu, rumah yang penuh kenangan itu. Si kecil Xian Hua mendapatkan luka bakar yang, walaupun tidak parah, meninggalkan bekas—luka inilah yang dilihat oleh Yi Yun. Dengan seluruh ketakutan, kesedihan, dan amarahnya, Xian Hua melarikan diri.

Kemudian, Xian Hua pingsan—dan saat itulah ia melupakan kenangan-kenangan yang indah: tentang orang tuanya, adik dan kakaknya, kebahagiaannya dahulu… tetapi  ia masih mengingat satu hal buruk. Satu hal itu adalah wajah pemimpin kelompok yang telah menyerang keluarganya.

Wajah itu kini kembali muncul di hadapan Xian Hua. 14 tahun dan wajah itu hanya berubah sedikit saja, membuat Xian Hua mudah mengenali si pemimpin kelompok. EnterPrive ternyata adalah organisasi kejahatan yang sama dengan yang telah menghancurkan keluarga Xian Hua dulu, hanya dalam wujud berbeda yang lebih legal.

“Berani sekali kau menampakkan muka jelekmu itu lagi di sini,” Xian Hua tersenyum sinis, “Kau sudah tidak sabar ingin mati, ya?”

Sang pemimpin kelompok hanya tertawa mendengar itu. “Aku tidak tahu kalau kau ternyata pemilik tanah ini, Xian Hua. Aku bahkan beranggapan bahwa kau sudah mati. Tak kusangka, Henry Lau sang violinis terkenal itu adalah kau. Ini kesempatan yang bagus untuk reuni.”

Senyum Xian Hua memudar dan berganti menjadi tatapan tajam. “Pergi. Aku sudah jauh lebih kuat saat ini, walaupun aku masih sendirian. Aku akan melakukan cara yang kasar jika kau memaksaku.”

“Bisa saja kau. Setelah menjatuhkan beberapa pekerjaku yang di sana itu, kau pikir kau bisa langsung mengalahkanku? Sekarang, pertarungan fisik tidak lagi berlaku. Tidak seperti dulu ketika aku menghabisi keluargamu,” sang pemimpin kelompok tergelak, “Astaga, bahkan ibumu adalah petarung yang handal, tetapi kami lebih unggul.”

“Pergi, kubilang. Ini tanahku,” perintah Xian Hua sekali lagi, “Kuhitung sampai tiga.”

“Memangnya apa yang bisa dilakukan anak kecil sepertimu?”

“Satu.”

“Apa kau sedang belajar menghitung?”

“Tiga!!”

Zrak!!

Dor, dor, dor!!!

Xian Hua menerjang ke arah pimpinan kelompok setelah hitungannya berakhir, tetapi entah dari mana, sekelompok penembak melancarkan serangan balik. Peluru-peluru berdesing merobek kulit, mengoyak daging. Seperti yang Xian Hua katakan sebelumnya, ia sudah lebih kuat, sehingga ia bisa menghindari peluru-peluru itu dan menanamkan luka panjang di tubuh sang ketua kelompok. Ia tak peduli pada rasa sakit yang ditimbulkan beberapa peluru ‘beruntung’  dalam tubuhnya. Telapak tangannya berubah merah, di kuku-kukunya sudah ada bagian-bagian kulit korbannya yang tercabik. Sang ketua kelompok mengerang. “Hei, kalian bodoh! Hentikan dia, jangan hanya menembak secara sembarangan!”

Beberapa orang penembak mencoba menjauhkan Xian Hua dari sang pimpinan, tetapi Xian Hua sudah terlanjur marah. Harga dirinya sebagai pemilik teritori terluka karena tanah itu digunakan tanpa seijinnya. Rasa sakit itu ditambah lagi dengan dendam pada organisasi itu. Karena ini pulalah, kekuatan Xian Hua bertambah berkali-kali lipat. Ia menendang, mencakar, dan memukul semua lawannya, walaupun peluru-peluru terus berdesingan ke arahnya.

“Dasar manusia,” Xian Hua melemparkan satu orang yang baru saja ia habisi, iris darahnya menatap salah satu tim penembak, “Kalian harus mati!”

Xian Hua melompat, ‘menerkam’ salah seorang penembak, dan mengoyak sisi leher sang penembak dengan taringnya. Kehilangan banyak darah membuat si penembak pingsan. Xian Hua menoleh ke arah para penembak lain, tetapi belum sempat ia melakukan apa-apa, peluru-peluru sudah memberondongnya, membuat ia tersungkur.

Para penembak merasa sudah menang. Mereka bangkit dari posisi mereka yang semula. “Dia sudah mati, ‘kan?” tanya seorang penembak pada yang lain. Beberapa mengangkat bahu. Mereka berjalan lebih dekat pada Xian Hua. Mata Xian Hua terpejam, tetapi sesaat kemudian, seulas senyum tipis muncul di wajah kekanakannya.

“Kalian pikir aku mati semudah itu?”

Xian Hua bangkit dan kembali menyerang dengan brutal. Ia bahkan menusuk beberapa orang dengan tangannya. Hilang sudah citra seorang Henry Lau si Casanova berwajah anak-anak. Dengan iris merah, tubuh berlumuran darah, dan senyumnya yang memendam nafsu membunuh, Xian Hua adalah monster. “Dia berbahaya. Kita butuh bantuan! Telpon markas pusat!” ujar salah seorang penembak yang masih selamat dari amukan Xian Hua. Segera orang-orang itu menelepon markas pusat, tetapi beberapa di antara orang-orang itu sudah keburu tak sadar sebelum selesai menelepon. Karena Xian Hua, tentunya.

***

Sementara itu…

Klotak.

Song Qian menoleh pada Yi Yun yang membantunya mencuci piring seusai makan malam. Anak perempuan Song Qian satu-satunya itu baru saja menjatuhkan sendok yang ia cuci ke bak cucinya. Song Qian bisa melihat tangan Yi Yun agak gemetar. Cemas, ia bertanya, “Yi Yun, ada apa, Sayang? Kamu kecapekan?”

Yi Yun menggeleng. Ia lihat tangannya, bergetar tanpa alasan yang jelas. Jantungnya juga berdegup lebih cepat untuk alasan yang tak ia ketahui. “Mama, aku tak tahu kenapa begini…. Aku juga berdebar-debar, tetapi aku tidak merasa kecapekan, sungguh….”

Dahi Song Qian mengernyit. “Masa, sih? Kamu pusing, tidak?”

Sekali lagi, Yi Yun menggeleng.

“Lalu kenap—“

Tiba-tiba, Yi Yun menarik napas kaget. Song Qian tidak jadi meneruskan kata-katanya. Ia bertambah panik dan bingung melihat reaksi anaknya. “Yi Yun, kamu kenapa? Kenapa kamu terkejut begitu?”

“Xian Hua,” gumam Yi Yun, lalu cepat berbalik dan melemparkan celemeknya ke samping, “Mama, aku harus pergi!”

“Yi Yun, kamu mau ke mana?” Song Qian berlari mengejar putrinya, tetapi Yi Yun lebih cepat. Song Qian tak bisa menemukannya lagi; sang anak menghilang di antara pepohonan yang mengelilingi jalan menuju rumah mereka. Wanita itu menghembuskan napas panjang di depan pintu.

“Apa yang dia katakan sebelum pergi, Qian?”

Song Qian menoleh dan mendapati jantannya di belakang. “Dia… memanggil nama seseorang. Kalau tidak salah, yang ia sebut itu adalah nama serigala Casanova yang selalu mengganggunya.”

“Oh?” Zhou Mi tampak terkejut, tetapi kemudian ekspresinya kembali seperti semula, “Rupanya, Yi Yun dan Casanova itu sudah terikat. ‘Casanova’ itu tidak akan jadi soliter lagi setelah ini.”

“Apa itu berarti Yi Yun dan Casanova itu sudah saling jatuh cinta?” Wajah Song Qian mencerah. Zhou Mi mengangkat bahu. “Salah satu dari kita harus memastikannya.”

Tanpa ba-bi-bu, Song Qian bertindak. Ia tahu Zhou Mi dan Wu Fan bertanggung jawab menjaga teritori mereka, sehingga dua orang itu harus terus ada di dalam teritori. Oleh karena itu… “Zi Tao, kemari sebentar!”

Patuh, Zi Tao memenuhi panggilan ibunya. “Kenapa, Mama?”

Greb!  Tiba-tiba, Song Qian menarik tangan Zi Tao dan berlari sekencangnya keluar rumah. “Mi, Wu Fan, jaga rumah, ya!”

***

Yi Yun terus berlari menuruti instingnya. Ia tak benar-benar tahu di mana Xian Hua sekarang, tetapi kakinya terus maju ke satu arah yang pasti. Keyakinan bahwa Xian Hua dalam bahaya muncul entah dari mana. Yi Yun yang biasa akan memilih untuk mengabaikan perasaan tak jelas macam itu, tetapi Yi Yun yang sekarang yang sudah mulai terikat dengan pejantan lain. Hanya dengan perasaan itu saja, Yi Yun tahu bahwa Xian Hua sudah bukan lagi Casanova yang bebas, tetapi pejantan alfa yang sedang berusaha mempertahankan teritori. Itu terbukti saat dia datang ke lokasi kejadian.

Horor.

“Xian Hua!” Yi Yun berlari menghampiri ‘bocah kecil’ berlumur darah yang berdiri di tengah lautan tubuh. Xian Hua tidak menghendaki ini terjadi. Harusnya Yi Yun tidak ke sini karena itu akan membahayakan nyawa gadis itu sendiri. Xian Hua jatuh di atas lututnya, kehilangan banyak tenaga dan darah, tetapi kemudian ia berteriak sekuatnya.

“Menjauh dari sini!!!”

Bruk!

Peluru-peluru berdesing ke arah Yi Yun yang berlari menghampiri Xian Hua. Dengan tangan kosong, Yi Yun menepis peluru-peluru itu sembari terus berlari. Gadis itu mengguncang-guncang tubuh Xian Hua yang kaku. “Hei, bangun!! Xian Hua, sadarlah!!!”

Deja vu. Dulu, saat pertama kali bertemu Xian Hua, Yi Yun juga berusaha menyadarkan Xian Hua dari pingsannya dan tidak berhasil. Sekarang pun sama. Xian Hua tidak bangun—dan seluruh dunia Yi Yun menjadi merah. Ia membaringkan Xian Hua kembali di tanah dengan lembut, lalu berdiri dan menggeram marah pada para penembaknya.

“Kalian…. manusia busuk!!!”

Para penembak menjadi panik saat Yi Yun berubah menjadi kurang lebih sama dengan Xian Hua sebelumnya. Monster apa lagi sekarang?, pikir mereka, ketakutan dengan kemungkinan Yi Yun menghancurkan mereka seperti Xian Hua. Akan tetapi, melihat Xian Hua yang sudah terkapar, masih ada kemungkinan Yi Yun akan kalah.

“Serang!!!”

Dor! Dor! Dor!

Yi Yun sekali lagi menepis hampir semua peluru yang terarah padanya. Beberapa peluru hanya berhasil merobek jaketnya atau, yang lebih ‘beruntung’, kulitnya. Ia melangkah cepat menuju salah satu penembak, menendang senjata milik orang itu, dan menghancurkan senjata api laras panjang itu dengan satu kali injakan. Ia mencengkeram kerah baju si penembak dan meninju orang itu keras-keras hingga menghempaskan si penembak itu ke arah temannya yang lain, menjatuhkan mereka berdua. Yi Yun menggunakan tubuh dua penembak yang sudah ia jatuhkan sebagai landasan untuk melompat. Kemudian, ia menendang penembak lain lagi, mencakar satu penembak lagi di depannya, lalu menyikut keras salah satu lawannya yang berhasil bangkit. Luka yang didapat Yi Yun tidak sedikit, tetapi luka yang didapat pihak lawan lebih banyak lagi. Semakin lama, Yi Yun semakin ganas, terlebih ketika pandangannya berhenti pada Xian Hua yang tak sadarkan diri.

Bocah itu menjaga teritori ini. Teritorinya—aku bisa mencium bau darahnya sebagai penanda. Kemudian, manusia-manusia tak tahu sopan-santun itu masuk begitu saja ke sini. Keterlaluan! Memangnya mereka pikir membuat teritori itu gampang?

Tiba-tiba, tubuh Xian Hua terangkat dari tanah. Yi Yun terbelalak. Seseorang dari pihak musuh telah mengarahkan pistol ke leher Xian Hua. “Setelah melihat sikapmu yang semarah tadi, kurasa aku bisa mengerti sepenting apa dia bagimu,” kata orang itu sambil menancapkan ujung moncong senjatanya lebih dalam ke leher Xian Hua, “Kalau kau tak ingin dia mati, maka hentikan perbuatan merusakmu ini dan pergi dari sini.”

Menyandera Xian Hua? Kurang ajar!, Yi Yun mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. Ia harus terus bertindak. Belum semua anggota organisasi ia habisi. Itu artinya, teritori Xian Hua masih belum aman, tetapi orang itu akan menyakiti Xian Hua jika Yi Yun terus beraksi. Apakah Yi Yun harus berhenti? Orang berhati busuk seperti si penyandera tidak akan berkata jujur; kemungkinannya untuk membunuh Xian Hua setelah Yi Yun pergi masih besar. Yi Yun menggeram marah. Baru kali ini ia merasa kehilangan pegangan, kebingungan tanpa ada seorang pun yang membantunya.

Rupanya, si penyandera bisa memahami suasana psikologis Yi Yun. “Cepat putuskan! Pergi atau dia mati?”

Buak!

Yi Yun terpaku. Si penyandera tiba-tiba saja tersungkur. Seseorang telah meninju orang itu dari belakang, lalu menginjak kepala si penyandera dengan keras sampai kepala si penyandera mengeluarkan darah. Di atas kepala si penyandera itu, Yi Yun melihat….

….sandal rumah berbulu warna pink?

“Jangan ganggu putriku dengan calon jantannya, Tuan Tampan.”

Belum sempat Yi Yun menebak siapa pemilik sandal rumah imut itu, ia sudah mendengar teriakan kesakitan dari belakangnya. Yi Yun menoleh dan melihat Zi Tao menyerang pihak musuh yang tersisa. Musuh terakhir jatuh. Zi Tao menatap kosong orang yang baru saja ia kalahkan, lalu menendangnya seperti sampah. Setelah itu, ia menghampiri Yi Yun dengan cemas. “Yi Yun-jie! Kau tidak apa-apa?”

Yi Yun mengangguk. “Cuma ada beberapa goresan yang tidak serius. Yang lebih penting sekarang….”

Mama mengerti,” si pemilik sandal rumah, yang ternyata Song Qian, membopong Xian Hua dengan hati-hati, “Kita rawat saja Xian Hua di rumah. Kalau di rumah sakit, apa yang terjadi padanya akan ketahuan.”

Mama, Zi Tao, aku sangat berterima kasih. Sini, biar aku bawa Xian Hua di punggungku. Aku akan membawanya pulang.” Yi Yun membalikkan tubuhnya. Perlahan, Song Qian memosisikan tubuh Xian Hua pada punggung Yi Yun. Setelah posisinya paten, Yi Yun mengangkat tubuh Xian Hua di punggungnya.

Zi Tao memandangi orang-orang yang terkapar di sekitarnya. “Mama, kita belum selesai. Orang-orang itu akan ribut menceritakan kejadian ini kalau mereka sadar nanti.”

“Benar juga,” Song Qian lalu beralih pada Yi Yun, “Sayang, kamu bisa pulang sendiri, ‘kan? Mama dan Zi Tao harus menghilangkan ingatan orang-orang ini, lalu menelepon ambulans supaya teritori ini bersih lagi. Kami akan cepat menyusul.”

“Baiklah,” Yi Yun akhirnya bisa tersenyum lagi, “Aku pergi. Kalian berdua, berhati-hatilah.”

“Kau juga!” teriak Song Qian pada putrinya yang berlari menjauh. Zi Tao mengendus aroma udara yang bercampur darah. Ia bisa menemukan bau ‘penanda’—darah Xian Hua di antara darah para korbannya yang memenuhi udara. “Casanova itu benar-benar membangun teritori. Dia sungguh-sungguh ingin membangun klan dengan Jiejie, ya.”

Song Qian membuka paksa mata salah seorang korban, lalu menatap mata itu tajam dengan mata merahnya. Dengan cara itu, Song Qian menghilangkan ingatan korbannya tentang kejadian ini. “Itulah yang harus kau lakukan kelak, Zi Tao. Kau bisa belajar membangun teritori dari Casanova yang bersemangat itu,” ucapnya sambil tersenyum, lalu beralih ke korban berikutnya, “Ah, sedihnya… Banyak sekali manusia yang harus kita hilangkan ingatannya, padahal ‘kan aku ingin melihat gadisku dan pejantan alfanya.”

***

“Jauhi Xian Hua-ge!! Dasar kalian anak-anak nakal!”

Dalam tidurnya, Xian Hua melihat kilasan masa lalunya. Ia teringat adik perempuannya. Meimeinya yang imut itu menghalau anak-anak nakal yang menjahili Xian Hua, walaupun Xian Hua bisa mengatasi anak-anak itu sendiri.

Gadis tampan itu juga berteriak untuk menghalau musuh Xian Hua pergi.

“Hadapi aku kalau kalian mau menjahili Xian Hua!”

Kakak lelaki Xian Hua adalah anak yang kuat. Dia sering membantu Xian Hua jika anak-anak nakal mengajak Xian Hua bertarung. Anak-anak nakal itu kalah dengan sang gege dan lari pulang sambil menangis.

Gadis tampan itu juga menghajar pengganggu teritori Xian Hua tadi.

“Astaga, Xian Hua… Dasar anak manja. Baik, baik, Baba akan menggendongmu.”

Ayah Xian Hua tak karuan sibuknya, tetapi ia selalu menyempatkan waktu bersama Xian Hua dan anak-anaknya yang lain, juga betinanya yang cantik. Ia sering menggendong anak-anaknya di punggung sambil bermain. Punggung sang ayah sangat hangat dan nyaman bagi Xian Hua.

Punggung gadis tampan itu juga sama hangatnya; Xian Hua merasakannya ketika ia digendong si gadis di punggung.

“Kasihan Xian Hua… Kepalamu pasti sakit, ya? Kalau Mama usap seperti ini, apa terasa lebih enak?”

Ibu Xian Hua amat penyayang. Ketika ia marah memang menyeramkan, tetapi jika ia sudah menunjukkan cintanya, terutama pada anaknya yang sakit, ia menjadi sangat lembut. Ia membuat anaknya merasa lebih baik dengan mengusap-usap sayang dahi atau rambut sang anak. Tangan lembutnya adalah obat manjur bagi semua penyakit Xian Hua.

Tangan gadis tampan itu tak sehalus tangan ibu Xian Hua, tetapi Xian Hua sangat menyukai sentuhannya.

“Nih, cepat makan ini supaya aku cepat pergi dari sini!”

Nah, kalau ini sih khas milik gadis tampan itu. Bagaimana gadis tampan itu memperhatikan Xian Hua selalu membuat Xian Hua terpukau, geli, dan bahagia.

Air mata mengalir setetes dari mata Xian Hua yang masih terpejam. Sesaat setelah itu, mata Xian Hua terbuka—dan ia menemukan gadis tampannya sedang duduk di depannya. Tangan si gadis berada di rambutnya, tanda bahwa gadis tampan itu baru saja mengusap rambutnya. Melihat sepasang mata di depannya terbuka, si gadis terkesiap dan langsung menarik tangannya. Suara beratnya menyapa telinga Xian Hua kemudian.

“Jangan salah tangkap dulu! Aku melakukan ini bukan karena ingin, tau, tetapi Mama yang menyuruhku!”

Astaga, Yi Yun. Kau memang sangat cantik, apalagi saat sedang menutupi rasa malumu, seulas senyum lemah terkembang di wajah bocah Xian Hua.

***

Hidup itu unik bagi Yi Yun dan Xian Hua. Mereka bertemu secara tak sengaja saat Xian Hua pingsan karena mabuk. Yi Yun menolong Xian Hua secara tak langsung dari keterpurukan sekaligus memberinya sebuah ujian untuk mendorong sisi pejantannya keluar. Kisah cinta mereka tidak romantis sama sekali. Mereka tidak pernah kencan; kalau bertarung, pernah. Xian Hua si petualang cinta akhirnya mendarat permanen pada Yi Yun, seorang gadis yang tak kelihatan seperti gadis sama sekali. Ketika mereka menikah, tak ada yang memakai gaun panjang putih dengan corsage bunga di rambut atau semacamnya. Yi Yun memakai sneakers, demi Tuhan, dan dia memakai jas! Orang-orang kaget karena mengira Xian Hua menikah dengan sesama pria. Bisik-bisik tak enak memaksa Yi Yun untuk masuk lagi ke ruang rias dan keluar dengan rok hitam selutut sebagai ganti celana kainnya. Yi Yun lebih cocok menjadi gadis yang hadir di pemakaman atau pelamar kerja di sebuah kantor dengan penampilan seperti itu.

Namun, Xian Hua tak keberatan. Yi Yun memang gadis uniknya. Bocah itu merasa sangat terhormat mendapatkan pengantin wanita yang memakai kemeja putih, dengan jas hitam sebagai luarannya dan rok span selutut sebagai bawahannya, plus sneakers hitam. Setidaknya, Yi Yun masih membawa karangan bunga untuk menyelamatkan penampilannya.

Yang lebih penting, Yi Yun membawa seluruh hatinya di pernikahan ini untuk membalas perasaan Xian Hua kepadanya.

***

Beberapa tahun berlalu.

Seorang pencuri menyelinap masuk ke sebuah rumah besar.  Hanya dengan melihatnya saja, ia tahu bahwa ini adalah sasaran empuk, di mana ia bisa mengambil barang-barang berharga dalam jumlah banyak. Ia terkekeh pelan membayangkan hasil kerjanya nanti.

Sementara itu, dari lantai dua, seorang anak tinggi berkulit pucat berusia 12 tahun berjalan menuruni tangga. Ia agak terhuyung, tetapi ia mencoba melawan kantuknya. Ia sangat haus dan ingin minum. Ketika sudah sampai di bawah, ia melihat orang aneh dengan topeng ski hitam mengendap-endap menuju galeri orang tuanya.

Seketika mata anak itu memerah. Ia harus melindungi rumah ini selama orang tuanya pergi.

Maka, ia meletakkan gelasnya yang separuh terisi air di meja makan, lalu melesat dengan kecepatan abnormal menuju si pencuri. Anak itu menjatuhkan si pencuri dengan sekali tendang. Terdengar pekikan kesakitan si pencuri ketika si anak mengunci tangannya ke belakang punggung dan menahan kepalanya supaya tetap menghadap lantai.

“Katakan apa maumu kalau tak mau kulukai.” Si anak bertanya dingin.

Pencuri itu masih amatir, untungnya. Ia sangat ketakutan di bawah ancaman si anak tinggi. “T-tolong ampuni aku, Nak!”

“Berapa yuan yang kau butuhkan?” tanya si anak lagi.

“K-kumohon jangan bunuh aku!”

“Aku tanya berapa yuan yang kau butuhkan?”

“T-tiga ribu yu…an… akh, tolong jangan bunuh aku…. Itu untuk tambahan biaya pernikahan anakku…”

Si anak tampak berpikir sejenak. Ia lalu mengangkat tubuh ‘paman bertopeng ski’ itu dengan mudahnya. “Aku akan bawa kau ke kamarku dan memberikan uangmu, tetapi setelah itu pergi dan jangan kembali lagi.”

Si anak menyeret pencuri itu ke kamar. Anak itu memutar kunci kombinasi pada sebuah kotak—mungkin brankas—dan mengeluarkan segepok uang dari sana. “Nih, bawa pulang, terus jangan kembali lagi. Kau mengerti tidak, Paman?”

“Te-terima kasih…”

Pencuri itu berlalu begitu saja,terlalu ketakutan untuk mencuri lagi di rumah itu. Si anak menghembuskan napas keras. “Mau apa aku tadi? Ah, benar. Aku mau minum.”

Kring, kring!

Baru si anak pucat mau minum, telepon rumahnya berbunyi. Ia bisa menebak siapa yang meneleponnya pada jam ini, apalagi rumahnya barusan kemasukan pencuri—cuma ‘detektor pencuri’ milik ibunya saja yang cukup sensitif untuk itu.

“Halo, Mama?”

“Zhao Lin!”

“Zhao Lin, kau tidak apa-apa?”

Nah, ‘kan? Bahkan bukan cuma ibu anak itu yang menelepon, ayahnya juga, berebutan dengan sang istri. Terdengar gemerisik dari seberang yang membuat si anak—Zhao Lin—harus menjauhkan teleponnya dari telinga. Pasti Baba dan Mama berebut menghubungiku lagi, batinnya. “Baba, Mama, gantian dong bicaranya.”

“Aku dulu, Ge!” Akhirnya, sang ibu memenangkan ‘pertarungan’, “Zhao Lin, Mama merasakan ada aura asing memasuki teritori!”

“Iya. Tadi, ada pencuri yang masuk ke sini, tetapi aku sudah memberinya uang tabunganku. Dia pergi begitu saja sebelum sempat kuapa-apakan.”

“Fiuh! Syukurlah kalau begitu! Tidurlah lagi, Zhao Lin. Selamat ma… Ouch! Gege!”

“Zhao Lin, Zhao Lin, Baba dan Mama pasti akan segera… whoa, tunggu!”

“Kami akan segera pulang dari Korea dan membawakanmu merchandise penyanyi kesayanganmu, jadi jangan kangen kami, ya! Gege! Kenapa kau pura-pura muntah begitu?”

Zhao Lin tertawa. “Jangan ribut di hotel, Baba, Mama, nanti tamu lain terbangun.”

Terdengar tawa lelaki dari seberang, tetapi Zhao Lin tahu itu tawa ibunya. “Baiklah, selamat malam, Zhao Lin. Tidur yang nyenyak.”

Baba dan Mama juga. Selamat malam. Cepat pulang, ya, aku menunggu merchandise Baekhyun-gege dari kalian.”

Pip. Telepon diputus duluan dari seberang. Zhao Lin pergi ke lantai atas. Ia masih kegelian membayangkan ayah dan ibunya bergumul di atas tempat tidur hotel karena sama-sama mencemaskannya.

Hah, bergumul apa?

Tiba-tiba, muka Zhao Lin jadi merah. Apa yang kupikirkan, sih? Mereka cuma berebut ponsel di atas tempat tidur—jangan berpikir aneh-aneh, deh, Zhao Lin menghilangkan pikiran-pikiran yang tidak-tidak. Setelah masuk ke kamarnya, tanpa sengaja matanya terhenti pada sebuah foto kecil berbingkai kayu di atas meja belajar. Ia tersenyum ketika mengangkat foto itu, melihatnya lebih dekat. Ayah dan ibunya terlihat sangat unik. Ayahnya berwajah anak-anak—kalau masuk SMA dengan seragam sekolah pasti masih cocok. Ibunya lebih terlihat seperti bodyguard bagi ia dan ayahnya jika mereka difoto bersama karena sang ibu yang tampak paling kuat. Butuh waktu bagi orang lain untuk benar-benar menangkap kecantikan sang ibu, tetapi Zhao Lin sudah tak perlu waktu lama lagi untuk mengakui kecantikan ibunya. Kedua orang tuanya itu semakin unik karena mereka berdua lebih pendek darinya. Mereka juga memiliki wajah bulat, sedangkan wajah Zhao Lin tirus manis seperti wajah kakek-neneknya. Perbedaan ini sempat membuat Zhao Lin sedih, mengira dirinya anak adopsi, dan membuat ayah-ibunya tertawa heran. Tentu saja kau anak kami! Mata sipitmu itu seperti milik Baba! Suaramu seperti Mama! Apa lagi yang kurang? Wajahmu itu…hm… itu juga dari kami, walaupun tidak mirip! Zhao Lin ingat ia menangis karena ayahnya yang polos salah bicara seperti itu, tetapi lama-kelamaan, ia sudah tidak mempermasalahkan wajahnya. Walaupun ia terlihat berbeda dari orang tuanya, toh orang tuanya tetap menyayanginya.

Zhao Lin meletakkan foto itu kembali dan tidur. Ia rindu pada orang tuanya yang terpaksa pergi ke luar negeri sementara karena sama-sama memiliki pekerjaan yang harus diselesaikan di Korea. Akan tetapi, bukankah tak ada anak lelaki yang mau mengakui itu? Zhao Lin hanya berharap orang tuanya bisa tidur nyenyak malam ini dan pulang dengan selamat.

Cahaya bulan yang menyusup masuk ke kamar Zhao Lin menunjukkan wajah-wajah dalam foto kecil berbingkai di atas meja belajar. Tiga orang itu sama-sama mengenakan varsity jacket hitam bergaris kuning. Terlihat Zhao Lin menyampirkan tangannya ke bahu ibu tampannya—Yi Yun, juga ke bahu ayah ciliknya—Xian Hua, lalu berpose dengan V-sign. Ketiganya tersenyum bahagia ke arah kamera; tak ada lagi yang merasa sendirian karena mereka bertiga saling memiliki.

***

SECOND STORY OF HOMO HOMINI LUPUS SERIES: END

Author’s note: Ini kisah cinta yang klasik, ya. Apa ini terlihat seperti teenlit? Maafkan saya karena idenya kurang ‘out of the box’, saya bikinnya ‘in the box’ *masuk kotak? #abaikan. Maaf juga karena banyak NC-nya, adik-adik dilarang keras untuk menirukan adegan-adegan NC di sini, ya. Setelah dua kali baca cerita di series ini, menurut pembaca bisakah cerita-ceritanya dimasukin kategori action?

Plus-plus, ada yang g’ tau Xing Zhao Lin? Buat yg gtw, disaranin cepet cari. Dia ini kembar banget sama Baekhyun, cuman kalau dia tinggi, sedangkan Baek… ehm, sebaiknya g usah dibahas. Belum debut sih (ya iyalah namanya juga trainee) tapi sdh lumayan terkenal di dunia maya.Oh ya, kelupaan lagi satu. SNH48 itu sisternya AKB48 yang di Shanghai, jadi nama anak-anak cewek yang g pernah kalian denger dalam FF ini, misal Yu Qi, Mo Han dll. itu adalah personel SNH48.

Gimana? Apakah ini mengecewakan? Aneh? Menarik? Yang jelas, saya akan bikin lagi cerita dalam series ini, dengan fokus yang berbeda lagi ^^Review membangun sangat diterima.

 

13 thoughts on “Cassanova (Chapter 3-END)

  1. Thor aku suka baca ff nya tapi yang di indofanfictkpop dan aku suka.. Ternyata aku dapet endingnya disini. Author-nim daebak banget deh hapal semua sama China-line/Mandarin-line di SM terus cast yang dari SNH48 juga itu keren banget! Keep writing thor 😉

  2. maaf ya saya baru bisa masuk ke sini…. berhubung yang di sini sudah end jadi aku bales review di sini aja yah ^^
    terima kasih buat semua yang udah ngreview, padahal cerita ini adalah cerita cinta yang klasik sekali…
    untuk cerita lain di series ‘Homo Homini Lupus’ ini bisa dibaca di http://archiveofourown.org/users/Liana_DS/works (promo akun AO3, ehe)
    maaf kalo nama cinanya bikin pusing ya… tapi udah jadi familiar kan dengan nama-nama di atas, karena ke depannya di series ini aku bakal pake nama cina terus ^^

  3. ffnya keren sumpah, aku baca dari part1 tapi karna aku bukan type orang yg pinter nyusun kata kata makanya comment disini/? dari judulnya aku tertarik banget, apa lagi aku suka hal yang berbau fantasy begini keren. Klasik tapi manis, banyak pesan yang didapet di ff ini, jadi bukan sekedar ff buat pembunuh waktu. keep write! 🙂

    • saya sih author freelance di sini ^^
      untuk jadi freelancer bisa dilihat di tab ‘Be Author Freelance’ di bagian paling atas page ini, sebelahnya ‘Home’ ^^ di situ ada cara lengkapnya 🙂

  4. mm, saya juga g begitu ngerti sih hahaha, tapi kalo freelance itu yang jelas bukan staf adminnya blog ini, tapi kalo author tetap itu kayaknya bisa punya akses ke blog ini secara bebas, jadi ceritanya bisa diupload sendiri tanpa nunggu diupload staf. Mungkin kayak gitu 🙂

  5. Author-nim!! Ini bagus! Typonya lumayan di diksi sama penyusunan kalimat ^^
    Dari segi cerita,aku suka! Genrenya menarik. Aku belom bisa bikin genre begini,cuma stuck di romance aja haha >\< bikin ff henber yang banyak 😀 fighting!

Leave a comment