Our Different path

Artposter_OurDifferentPath

Our different path
Writing by Julistyjunghaae || Staring by Krystal [F(X)]
AU-Friendship-Hurt/Comfort || One-Shot || PG-15
Disclaimer: The cast belong themselves.
However, plot is mine.
Note: Warn! OOC, AU, also bad langue, and if you don’t like, please don’read. So don’t you dare to leave a flame, Don’t wanna leave unpleasant feelings for you—I have been warned you, guys.



Jika benar, perbedaan mampu menyatukan setiap elemen dunia.
Akankah perbedaan itu dapat menyatukan kita secara sempurna?




oOo

Bulir-bulir masa lalu, yang persisten mulai menghantui benaknya. Wajah cantiknya kini tertunduk, hanya mencoba untuk menutup iris berwarna coklat miliknya dan menggenggam dengar erat lembaran foto usang yang kini telah rusak oleh dirinya lalu menggingil kedinginan dalam percik elegi.

Temaram lampu tak ayal membuat gadis berambut panjang itu merasa risau. Kegelapan dalam ruang sempit dan pengap membuat nafasnya agak tersengal. Setetes demi setetes hujan menerpa wajah cantiknya. Menjamah pipi tirus itu dan mulai turun ke dagu.

Sembari membuang foto lusuh tersebut, ia mengapus setiap percikan krystal yang jatuh dari matanya. Menghapus setiap rajut kepingan memori tentang masa lalu yang buruk, yang entah mengapa selalu sulit untuk ia lupakan. Menghapus setiap guratan luka dihatinya yang semakin menganga.

Berjalan keatas tangga dengan sebatang lilin yang masih menyala, meninggalkan senyapnya ruang bawah tanah tak terjamah tersebut. Derai perih dari setiap rajutan langkah yang takkan pernah bisa ia lepas, yang membuatnya tiada daya.

Ia mencoba untuk menutup pintu yang menghubungkannya pada tempat itu. Mengunci setiap celah agar dirinya yang terkadang tak terkontrol itu tak dapat masuk dalam lubang hitam bernama masa lalu yang selalu menjebaknya dalam delusi.

Helaan nafas itu terdengar dari mulutnya. Hari sudah siang—ia dapat melihat sinar mentari pagi yang menghangatkan setiap jiwa pada kaca jendela yang terpasang indah disebelah kanannya. Dalam sepersekian detik ia memalingkan wajah pada jam tangan mungil miliknya.
09.40

Gadis itu terhenyak sebelum akhirnya berjalan menuju ruang depan dan mengambil tas selendangnya yang berwana hitam. Setelah melirik kaca sejenak untuk melihat penampilannya, dengan segera ia berjalan keluar, mengunci rapat pintu rumahnya dan berjalan keluar.
“Menyambut hari yang cerah itu harus diiringi dengan senyuman yang indah.”

Gadis itu bergeming. Dengan wajah yang tak menampilkan secuil ekspresi tersebut, ia berjalan kembali. Seolah tak menyadari adanya sebuah eksistensi yang mengiringi langkahnya. Ada sebuah tangan tak terlihat yang menutup telinganya, membuat gadis tersebut seolah tak mendengar setiap benang tanya yang terajut untuk dirinya.

“Jung Soojung, tidakkah kau mendengarku?”

Gadis itu Jung Soojung, menatap sang eksistensi yang hampir dilupakan olehnya. Tatapan matanya beradu dengan iris hazel pria yang lebih tinggi darinya tersebut. Sembari mendengus pelan ia mengangguk dan kembali fokus menatap jalanan. Matanya berpendar pada sekeliling, barangkali ada objek menarik yang dapat ia perhatikan dari pada mendengar ocehan pria yang berada disebelahnya.

Menatap dan menelanjangi setiap objek hidup tanpa berkedip, Soojung hanya mengangguk ketika sang pria bertanya atau sesekali meminta pendapat. Bukankah sang pemuda sudah mengetahui dari jauh-jauh hari, bahwa gadis minim ekspresi itu bukan orang yang tepat untuk menjadi teman bersosialisasi-nya.

“Kenapa kau selalu memperhatikan orang dengan tatapan seperti itu?”

Langkah yang terajut pelan itu terhenti ketika benang tanya kembali terucap dari sang pemuda. Dengan wajah ragu ia kembali memerhatikan satu objek hidup yang kini tengah berada dipersimpangan jalan. Menurut sang pemuda, orang yang ditatap Soojung hanyalah manusia dengan segala hal yang semestinya.

“Karena mereka hanyalah suatu bentuk eksistensi tak berguna yang selalu meng agung-agung ‘kan nama Tuhan yang sesungguhnya tak ada.”
Ya—dan juga satu bentuk eksistensi yang percaya terhadap Tuhan namun hidup layaknya hewan yang tak menyembah-Nya. Melakukan hal yang bahkan lebih keji dari pada orang yang tak beragama, mengatas namakan Tuhan atas segala hal kotor yang mereka perbuat.

Entah mengapa Soojung dapat merasakan bahwa pemuda disebelahnya tengah mendengus. Sejenak ia melirik sang pemuda, menatap iris hazel yang kini sama menatapnya. “Kau dan filosofi tak mendasarmu.” Setelah mendengar ucapan itu, Soojung hanya tersenyum tipis—senyuman yang baru terukir dari sudut bibirnya.

oOo

Dia percaya bahwa awal dari segala kehidupan berasal dari sejenis atom. Atom-atom yang kemudian saling berinteraksi, membentuk senyawa kimia seperti asam amino yang berinteraksi lagi lalu pada akhirnya membentuk sebuah DNA—yang merupakan komponen pembentukan mahluk hidup.

Dan bermula dari DNA inilah mahluk hidup terbentuk, melalui proses evolusi bermilyar-milyar tahun lamanya.

“Kau mau tau pendapatku tentang silsilah kehidupan dari sudut pandang orang sepertimu?”

Soojung hanya terfokus pada buku filsafat yang ia pegang. Tak berniat sedikitpun untuk melihat pemuda yang kini tengah menopang dagu sembari menatap wajahnya. Ia dapat mendengar ketukan jemari sang pemuda pada meja kayu yang begitu kokoh dalam senyapnya perpustakan.

“Aneh.”

Sambil menggeleng pria itu menata ekspresi wajahnya. Seolah faham itu adalah hal asing dan baru pertama kali didengarnya. Seolah itu adalah lelucon menggelikan dari seseorang yang sama menggelikannya. Lalu pemuda itu kini menatap mata coklat milik Soojung yang berbingkai sebuah kacamata.

“Jika kau berpikir bahwa segala hal yang tercipta dialam semesta ini terdiri dari unsur atom, berarti kau masih ber-kerabat dengan hewan juga benda mati, dan evolusi? Kau pikir manusia masih ber-evolusi hingga kini?”

Pemuda itu memberi jeda sejenak untuk dapat melihat respon dari Soojung. Sedangkan yang ditatap hanya dapat memandangnya balik. Tak perlu ada rangkaian frase yang terjabarkan. Soojung masih dapat menunjukan respon hanya dengan tatapannya—walau mungkin hanya berbentuk lirikan saja.

“Aku ingin sekali bertanya, jika semua bermula dari atom, lalu darimana atom berasal, Soojungie?”

Kali ini pemuda itu mengusap dagunya, layaknya orang yang tengah berpikir keras sembari melirik Soojung diam-diam. Namun Soojung mulai menutup bukunya. Kaca mata yang membingkai mata coklatnya itu terlepas lalu kemudian ia membuang nafasnya dengan berat.

“Kata orang, jika kau terlalu sering menghela nafas, kebahagiaanmu akan menguap secara perlahan.”
“Dengar,” Soojung menatap pemuda itu dengan tatapan jengah.

“, Kau bilang jika kehidupan berawal dari atom, dan darimana atom itu berasal? Lalu kenapa harus ada awal? Kenapa tidak bisa steady state universe atau steady state atom. Lalu untuk evolusi, bukankah evolusi adalah perubahan terhadap waktu?”

Kali ini pemuda itu memilih untuk membisu. Melihat mata coklat itu berkilat tajam—artinya itu bukanlah sesuatu yang bagus. Danpemuda itu memutuskan untuk kembali bercumbu dengan runtutan teks dalam setiap lembar bukunya. Memaksakan beberapa teori untuk kembali tersemat pada otaknya.

Dan Soojung mulai melangkah untuk dapat meninggalkan pemuda yang memberikan secercah rasa sebal dalam hatinya. Namun rajut langkahnya terhenti ketika sebuah tangan kekar menyentuh pergelangan tangannya—seolah isyarat untuk tidak pergi dari pemuda tersebut.
“Bisakah kau terbuka,”

—terbuka untukku.”

oOo

Soojung adalah figur seorang gadis yang sempurna. Seorang anak yang dianggap anugrah. Begitu kaya akan kelebihan. Sebuah eksistensi yang sudah menikmati euforia dan distopia kehidupan selama 22 tahun lamanya. Yang kini hanya menjadi satu bentuk eksistensi tak bernyawa.
Jung Soojung—hanyalah jasad tanpa sebuah jiwa.

Dia dulunya hanyalah gadis yang begitu naif akan dunia. Gadis polos yang tak mengerti jalan pikiran dua manusia yang ia sebut sebagai orang tua. Seorang wanita yang ia panggil sebagai ibu, seseorang yang melipahkan kasih dan cinta tanpa batas—juga pria yang ia sebut ayah sebagai pria bijaksana penuh dengan wibawa.

Kedua orang tua yang selalu mengatakan bahwa rantai kehidupan, bahkan persamaan dan perbedaanpun terikat sempurna—saling mengisi, bersebrangan namun sama-sama menawarkan kemungkinan yang tidak terbatas. Tidak hanya persamaan yang mengikat dua jiwa yang terpisah, perbedaanpun terbukti dapat menghipnotis setiap elemen dunia—karena tak ada sesuatu yang sempurna tanpa dilengkapi komplemennya.

—Itulah yang kedua orang tuanya katakan.

Namun secara perlahan keyakinan itu mulailah memudar seiring dengan distopia yang mengarungi hidupnya secara bersamaan. Delusi euforia yang ia pikir adalah gambaran absolut, ternyata hanya kamuflase elegi semu yang tak berujung.

Ketika kedua orang tuanya memutuskan untuk berpisah karena sebuah perbedaan yang tenyata tak mampu untuk saling mengisi dan menciptakan sebuah keindahan yang sempurna. Karena sebuah keyakinan yang menurut mereka lebih penting dibandingkan rasa cinta yang takkan pernah mereka bawa kedalam tanah yang kelak akan mereka singgahi.

Soojung dulunya hanya gadis muda berumur 8 tahun. Begitu naif dan polos seperti yang tertulis sebelumnya. Ketika mata sucinya menatap kekejaman orang tuanya—mendengar berbagai frase yang seharusnya tak pernah terdengar ditelingannya juga merasakan perihnya kehilangan segala bentuk eksistensi yang dulunya selalu ada disampingnya.

Dulunya ia memiliki seorang kakak perempuan sebagai bukti prasasti kekejaman sang ayah, yang kini telah menuju elemen firdaus. Seorang ayah yang kini telah menjadi pastor disebuah gereja yang setiap harinya berpidato tanpa jeda padahal dulunya telah membuat setitik noda kekejaman pada darah dagingnya sendiri.

Seorang ibu yang kini telah sama seperti kakaknya—tak diijinkan kembali untuk hidup dimata dunia karena keyakinannya sebagai seorang muslim yang masih dipandang berbeda oleh khalayak umum hingga disiksa oleh masa dan akhirnya menutup mata dengan berpegang teguh pada agamanya.

Soojung kembali menutup lembaran cerita masalalunya dengan senyuman getir yang terukir entah sejak kapan. Ia menatap sesosok orang yang mendengarkan lembaran masalalu pahit hidupnya. “Maaf.” Soojung bercerita karena pemuda itu memintanya untuk terbuka, tetapi bukan untuk mendapatkan tatapan iba seperti yang kini ia lihat.

Setelah mendecih Soojung bangkit dari kursi yang ia singgahi demi kenyamanan ketika bercerita. Ia lalu meninggalkan sang pemuda yang masih terpaku. Setidaknya Soojung dapat memberikan clue mengapa dirinya menjadi seperti itu—walau hanya dalam hening.

oOo

Terkadang ada saat dimana Soojung berpikir, apa bedanya dirinya yang tak percaya pada Tuhan dengan orang yang percaya pada-Nya? Tidak ada bukan. Bahkan terkadang Soojung merasa bahwa dirinya lebih baik dari pada orang-orang yang kini hancur padahal memiliki sebuah keyakinan.

Ia adalah gadis yang cukup sukses dalam karirnya—prodigy. Menjadi orang yang dapat dibanggakan oleh setiap orang dan bahkan menjadi seseorang yang sangat dibutuhkan oleh hampir setiap perusahaan. Namun terkadang sisi itulah yang membuat Soojung selalu memandang remeh orang disekitarnya—Arogan.

—hanya karena orang beragama itu tak dapat lebih baik darinya.

Dan sisi itu juga yang membuat pemuda dihadapan Soojung begitu tertarik dengannya. Sebagai mahasiswa Psikologi tingkat akhir, yang tengah mengikuti pasca sarjana, seharusnya ia kini tengah membuat tesis dengan studi kualitatif dari salah satu pasien di Rumah Sakit Jiwa—seperti yang direkomondasikan dosen pembimbingnya.

Namun ia malah lebih tertarik untuk dapat mengenal Soojung lebih jauh—melupakan studi yang ia jalani—dan bahkan jatuh dalam pesona sang gadis. Mungkin terasa aneh, namun ia seperti merasakan rasa suka dan ketertarikan yang tak lazim—itulah yang terpikirkan oleh pemuda tersebut.

“Apakah kau mempercayai sebuah reinkarnasi?”

Entah untuk kesekian kalinya Soojung mendengus dengan malas. Ada sebuah rasa yang membuncah dihatinya untuk menghajar pria dihadapannya. Untuk apa bertanya jika sesungguhnya pemuda itu tau apa jawabannya. Adakah sedikit saja kesempatan bagi Soojung untuk tenang? —untuk tidak mendengar ocehan tak jelas pemuda tersebut.

“Hmm… Soojunggie, setelah cerita kemarin, setidaknya aku cukup mengerti satu hal—“

Soojung menghentikan aksinya untuk memuntahkan setiap kata pada lembaran kertas putih. Ia menatap pemuda itu dalam diam—menunggu lanjutan dari untaian kata yang tak terselesaikan. Namun setelah beberapa menit, tak ada frase yang terjabarkan, hanya satu senyum yang terulas untuknya.

“Kau berpikir bahwa keyakinan adalah hal yang tak patut kau percayai, karena Tuhan dan agamanya telah menghancurkan keluargamu. Untuk apa kau percaya pada Tuhan jika pada kenyataannya keyakinan pada Tuhan tak dapat membuat satu kebahagiaan yang—sempurna, benarkan?”

Soojung kembali menunggu seuntai kata dari pemuda tersebut dan juga membenarkan setiap kata yang terucapkan. Ia tak pernah bisa percaya pada Tuhan. Perbedaan keyakinan orang tuanya, perselisihan dua kubu yang memintanya untuk memilih salah satu. Bukankah lebih baik ia tak memilih? Bukankah hidup tanpa Tuhan membuatnya lebih baik?

Setidaknya ia tidak seperti kebanyakan orang yang mengaku bahwa ia beragama namun hidupnya tak sesuai dengan ajaran agamanya.

“Maka dari itu—kau lebih memilih untuk tak percaya pada apapun.”

Hatinya merasa begitu tenang. Dalam dunia stagnantnya, setidaknya bertemu dengan seorang pemuda seperti itu adalah satu keajaiban. Duduk di café bersama dan dapat berinteraksi layaknya seorang teman. Dan untuk pertama kalinya Soojung merasa bahwa ia… bersyukur.

“Walaupun aku tak dapat mengubah presepsimu terhadap Tuhan, tapi setidaknya berhentilan men-judge orang yang beragama dan membandingkannya dengan dirimu.”

Seharusnya kini Soojung bahkan menjadi seorang yang lebih buruk. Berada dalam jagad raya distopia setidaknya dapat membuat sisi gelapnya muncul kepermukaan. Arogan, memandang rendah orang lain, dan selalu membandingkan dirinya dengan orang yang beragama.

“Karena sesungguhnya masihlah ada begitu banyak orang beragama, yang bahkan jauh lebih baik darimu.”

Pada dasarnya Soojung tau bahwa orang beragama tidak semuanya sama seperti apa yang logikanya katakan. Ia hanya ingin menutup mata dan telinga, melihat orang yang jauh lebih rendah dimatanya agar suatu saat nanti tak terjebak dalam lilitan ajaran yang menurutnya malah membuat orang semakin sesat.

Contohnya adalah pemuda dihadapannya. Soojung membenarkan ucapan pemuda tersebut, karena sesungguhnya pemuda itu termasuk orang yang jauh lebih baik darinya, namun ia tak pernah mau mengakui hal itu. Soojung lantas meminum coffee late yang sedari tadi ia anggurkan untuk menulis beberapa hal dalam lebaran kertas.

Pemuda itu—yang bahkan terkadang suka ia lupakan namanya adalah seorang muslim. Sama seperti ibunya. Seorang yang sangat taat pada ajarannya namun tak pernah ‘melenceng’ dari agamanya sedikitpun. Entah apa, walau enggan untuk mengakui. Spektrum warna dalam hidup pemuda itu dapat membuat Soojung terhipnotis.

Dalam bayang sang enigma. Ia mencoba untuk menatap mata hazel tersebut. Menelaah setiap sisi dari cerminan jiwa tersebut. Pemuda prodigy, sama sepertinya. Pemuda berdarah barat yang bercampur dengan Korea. Soojung kini terlarut dalam bayangan semu delusi euforia. Tak terasa wajah itu menampilkan semburat merah dan ledakan kembang api yang tercipta dalam perutnya.

Untuk pertama kalinya Soojung mengucap ikrar pada dirinya sendiri. Bahkan ketika ia seribu kali ditakdirkan untuk bereinkarnasi dan terlahir kembali didunia, ia ingin benang takdir selalu bertaut pada pemuda tersebut dalam jala kontinuitas yang tak terbatas. Dengan bertemu dengannya, berteman dengannya, dan… bersamanya.

“Karena pada dasarnya, manusia diciptakan dalam bentuk sebaik-baiknya—bukan sempurna.”

—nobody perfect.”

oOo

“Apa maksud dari Andreas Ludwig Feurbach yang mempertanyakan eksistensi Tuhan?”

“Menurutmu?”

Pemuda itu tak menjawab. Sesungguhnya, tanpa bertanyapun, jawabannya sudah ada pada runtutan teks dalam buku yang kini dipegangnya. “Aku menghargai orang yang memiliki faham seperti mu, namun aku tak pernah setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa perbedaan keyakinan dan faham itu dapat mengkotak-kotakan manusia.”

“Kau harus percaya itu, karena bukti nyatanya adalah—
—kita.”

Setelah frase itu terucap dibibirnya, Soojung mengalihkan pandangan, dari yang semula menatap indahnya malam menjadi wajah tampan pemuda tersebut. Ia membenarkan untaian kata tersebut, karena nyatanya ia dan pemuda tersebut dapat bersama. Walau pada dasarnya perbedaan yang mereka miliki takkan pernah mampu menyatukan mereka secara sempurna.

Soojung menatap selembar kertas putih yang telah ia nodai dengan tinta hitam. Dalam beberapa kali lirikan dan helaan nafas, Soojung tersenyum tanpa arti. “Apa kau mau menyerah bersamaku?” Pemuda itu menatapnya, begitu dalam dan seolah menelanjanginya, setelah beberapa saat kehilangan kata untuk diucapkan.
“Jangan bodoh.”

Soojung menghela nafas, satu jitakan telak tanda sebuah penolakan. Ia hanya meringis—dalam hati setelah bibirnya mengukir senyum getir. Kini mulutnya terkatup rapat, lidahnya menjadi kelu, tak mampu kembali mengucap berbagai frase. Giginya bergemeletuk, menahan dinginya sang hembusan angin.

“Kau pikir, jika kita mati, kita akan hidup kembali (Berenkarnasi)? Lalu untuk apa Tuhan menciptakan surga dan neraka, Soojungie?”
Gadis itu tak menjawab. Idealism yang selalu terjawab dengan rasio nalarnya kini bungkam. Hanya tersisa bayangan sang enigma yang semakin terasa rumit. Ragu bercampur harap, hati kecilnya pun melantunkan sebaris doa. Setelah itu ia kembali menatap langit, mengagumi keindahan yang berwujud disana.

“Aku tak memintamu untuk mati bersamaku seperti apa yang kau pikirkan, aku hanya memintamu agar kita dapat menyerah… bersama.”
Sejak dulu, Soojung adalah pribadi yang enggan berkata-kata. Ia tak mau bersusah payah bertutur kata jika dalam diam saja ungkapan itu tersampaikan dengan benar. Hanya saja, walau dua bola mata itu sudah mampu mengungkap berbagai makna, gestur itu dapat menjawab setiap tanya, takkan cukup membuat pemuda tersebut merasa pasti.

Yaitu untuk dapat saling merelakan.

oOo

Sejak dulu Soojung selalu tau, bahwa selalu ada kehidupan yang berdampingan dengan kematian juga perjumpaan yang diakhiri dengan perpisahan, masing-masing memiliki makna tersendiri. Meskipun sejak dulu gadis itu pun sudah dapat memprediksi bahwa semua skenario ini akan terjadi.
Pemuda itu kini berjalan meninggalkanya. Dan kepergiannya tak mungkin dapat ia cegah—karena sejujurnya ia tak mampu untuk mengikat tangannya agar dapat kembali bertaut lalu menahannya, itulah hukum mutlak dari hubungan yang mereka rajut dalam diam. Walau selamanya gadis itu akan selalu merengkuh pemuda tersebut dalam ilusi dunia.
Ia kembali menatap bentangan semesta. Lalu bergumam perih tentang pemuda tersebut. Ia selalu berpikir, walau pada kenyataanya ialah orang yang termasuk tak percaya pada ideologi Tuhan, namun ia adalah orang yang cukup mengerti dan tahu bahwa Tuhan adalah dalang, manusia adalah wayang dan dunia ini adalah sebuah panggung sandiwara.
Aneh memang, namun itulah kenyataanya.
Sama seperti cara berpikirnya yang selalu bertaut dengan rasio lalu idealism yang terkadang tak dapat dijangkau oleh penalaran manusia sederhana. Sama seperti keyakinan logikanya yang mengatakan bahwa mungkin apa yang telah terjadi sejujurnya bukan karena tangan Tuhan bernama takdir.
Namun sejujurnya faham yang ia tanamkan pada otak jeniusnya adalah salah, karena Tuhan adalah sang dalang yang akan tetap menentukan semua gerak wayang, ia percaya itu ketika rangkaian frase tersebut terucap dari seorang temannya yang beragama dan bukti nyatanya adalah ia yang tak mampu melawan suratan takdir yang sudah dapat ia prediksi dalam hening.
Dan untuk pertama kalinya Soojung merasa begitu bodoh.
Ia tak mampu melawan suratan takdir yang terajut. Ia tak mampu mengucapkan kata cinta yang tumbuh dalam keheningan. Ia hanya mampu menjadi mata; menyaksikan pemuda itu pergi meninggalkannya dengan seberkas luka yang kini semakin menganga.
Meninggalkannya tanpa satu kata cinta yang belum sempat terucap.
Meninggalkannya hanya karena perasaan tak lazim, yang seharusnya tak pernah ada.
Meninggalkannya dengan satu penolakan cinta—bahkan sebelum ia menyadari perasaan cinta tersebut.
Dan bila waktu hidupnya telah usai, dibungkam oleh mistisnya kematian. Dia akan diam, memasrahkan bibirnya agar terkunci dalam absolutism mortalitas. Menanggalkan setiap hal terhebat yang pernah dicapainya. Akhir segala akhir dalam keheningan adalah menunggu kematian juga kehidupan baru.

Mengertilah.
Bahwa hanya inilah keinginanku yang terdalam.
Untuk dapat berdampingan bersamamu dikehidupan berikutnya.
Because I love you…
END

Note: Has anyone understand how this fict end? Hahaha… mungkin di cerita ini plot kurang keliatan jelas, dan ending yang maksa banget juga terlalu banyak diksi dan sangat minim percakapan—tentunya dengan gaya tulisan yang kucoba buat untuk berbeda. Kisah romance yang gak ada sama sekali dan banyak hal yang menuju fakta-fakta subyektif tentang Atheisme yang (Ceritanya) dianut oleh Krystal. Dan ada satu kalimat yang aku ambil dari sebuah cerita yang aku baca. Tenang aja, aku udah ijin kok sama sang pengarang.
Dan untuk tokoh pria? The first time, I’m confused to determine who’s the boys. Finally, aku memutuskan the boy without name. Kekeke…. Maaf banget kalau ada beberapa kata yang menyinggung perasaan readers. Sesungguhnya ini hanyalah cerita fiktif dengan pandangan subyektif dariku. Wkwkw…
Tapi gak semua penganut faham Atheis gitu kan? Intinya kita tuh gak boleh deh membandingkan agama kita dengan yang lain, faham kita atau apapun itu, kita ini kan satu kesatuan. Oke—sepertinya sudah terlalu banyak monolog deh, yang udah baca RnR ya, because I still need review, guys…. See ya!!!
Dan idiom yang bertuliskan ‘Tuhan adalah dalang, manusia adalah wayang dan dunia adalah panggung sandiwara’ aku gak percaya itu.

One thought on “Our Different path

  1. wah ini sedikit…. SARA.
    tapi memang fic yang ada begini2nya adalah sesuatu yg menantang utk dibuat dan dibaca.
    yah, sayangnya, aku agak kurang sreg sama bbrp pendapat author di sini…. mohon maafkan saya.
    research author hebat bgt deh, saya nggak tau ttg tokoh2 atau quote2 di dunia filsafat blas… *suka bacaan yg lebih ringan, but oh well, abaikan*
    sejujurnya, kalo boleh kasih saran, diksi yg terlalu tinggi itu malah agak mengganggu… kalo model tulisan minim dialog sih nggak masalah, cuman pilihan kata yg terlalu tinggi kadang nggak pas. misal: “Dia akan diam, memasrahkan bibirnya agar terkunci dalam absolutism mortalitas.” daripada absolutism mortalitas, lebih enak pakai kata yg lebih sederhana, misal absolutisme kematian atau kesunyian mutlak.
    sorry nyepam yah… maafkan, maafkan saya, saya cuman ngasih saran saja ^^

Leave a comment