March 1939

March-1939-SEHUNEYby Rindra
Oh Sehun & Choi Jinri
Oh Family, Xi Luhan
Family, Drama, AU, Hurt/?
Ficlet | 1000+

Cross posted here.

It’s not the goodbye that hurts,
But the flashback that follow—

March, 1939

Pagi itu begitu dingin, terlingkup oleh lapisan tebal kabut pucat yang menggantung rendah di atas permukaan tanah, menghamburkan hawa dingin membekukan tulang menuju setiap seluk, setiap sudut, setiap jengkal udara. Puluhan ranting rikuh pohon pinus itu menggeleser di sepanjang dahan, menggesek satu sama lain tatkala gulungan angin menerpa, menghantam dengan kekuatan sedang.

Tak ada kicauan ramai burung, hanya desir sayup angin saja yang terasa menggetarkan saput tipis gendang telinga, sempurna membuat bulu kulit tipis lelaki itu meremang, merasakan dentuman rasa khawatir ketika mata cokelat pasir itu menggulir menatap tembok tinggi, menelaah sejenak mempelajari situasi sebelum melanjutkan langkah.

Taman itu, ya, taman mungil dibelakang rumah.

Ia menghela napas perlahan, membiarkan deru angin membungkus sejenak jiwanya yang terasa rapuh dilanda rasa bimbang, begitu rapuh bagai kertas papirus yang telah menguning. Satu sentuh saja, satu memori saja sanggup membuatnya meledak secara emosional. Tapi tidak, bukan saat ini, belum.

Melarikan telunjuknya mengusap bibir, sekali lagi ia mencoba untuk memutar memori indah itu untuk terakhir kalinya, membuka tutup peti harta itu dalam hatinya untuk dibaca kembali, diingat sehingga setidaknya ia merasa tenang kendati hanya lima menit waktu baginya untuk kemari. Lima menit berharga sebelum keberangkatan dengan mobil bobrok berkarat milik Ayahnya, menuju stasiun yang berjarak delapan mil dipesisir kota.

Lima menit.

Berbisik, menghitung sejenak berapa ratus detik yang sanggup ia lampiaskan untuk terakhir kalinya. Lima menit yang baginya begitu berharga, lima menit yang harus ia timang sedemikian rupa, ia sisir baik-baik, sebelum keberangkatan itu tiba.

Menghembuskan napas, lelaki itu melangkah mendekati pohon apel rimbun disudut taman, menelisik setiap jengkal penuh guratan kasar itu dengan ibu jari, setengah berharap pohon tua itu dapat menjauhkannya dari kenyataan, atau setidaknya dapat mencegah Letnan berpakaian necis itu menghampirinya dan merenggut segala suatu berharga miliknya.

Termasuk pohon apel ini, Ayah, Ibu, dan—adiknya.

Mental breakdown dalam arti tidak benar-benar gila, begitulah yang disebut-sebut Luhan setahun yang lalu sebelum ia menapakkan langkah berlapis sepatu bot jerman itu memasuki jip yang penuh sesak, tampak tegang dan tidak nyaman oleh lingkungan yang benar-benar baru, suatu hal yang secara mendadak diselipkan di antara takdir pendek mereka. Dan puluhan pasang mata itu, menatapnya, tampak siap kendati larik rasa tak percaya masih terpeta jelas.

Dan Luhan, hanya tertawa kecil, melambaikan baret merah gelap itu lalu menyeruak masuk ke dalam jip, terpaksa duduk disudut sempit, menunggu mesin dinyalakan. Begitu aneh nampaknya, lelaki periang itu terpaksa mencelupkan seluruh raganya dalam bidang yang sama sekali tidak diingininya. Bukankah Luhan ingin membuka usaha toko roti? Mengapa ia dengan mudahnya pergi begitu saja?

“Aku kan sudah bilang, jalani saja, siapa tahu kau beruntung.”

Beruntung, cih. Seulas senyuman tipis kini menghiasi wajahnya, sedikit merasa terhibur oleh ucapan Luhan setahun silam. Lelaki itu terlalu bergantung kepada kemujuran, tetapi, apakah memang begitu adanya jika kau terjebak dalam suatu hal yang berbau baru? Suatu hal yang bahkan tak pernah kau pikirkan sebelumnya. Seperti hari ini? Hari yang ingin sekali ia lompati, ia hindari.

Menunduk, memandangi sepatu bot jerman yang sama seperti milik Luhan dulu, mengilap bersih setelah ia menghabiskan waktu satu jam penuh menyemir dan mencungkil tanah kering yang menempel disepanjang tubuh sepatu. Begitu mengilap, seakan siap menerima apapun itu yang akan terjadi nantinya.

Jemari ramping lelaki itu bergerak mengusap lengan pakaiannya, licin dan berbau lemon segar, hasil kerja keras Ibunya semalam, menyikat dan menyetrika pakaian itu semalam suntuk. Beliau tidak menangis, tidak juga menampakkan tanda-tanda kesedihan, hanya tersenyum seperti biasa, dan memeluknya selama mungkin. Wanita itu memendamnya.

Ia bergerak menyentuh pangkal rambutnya, menggesek buku-buku jemarinya, lalu merasakan rambut cokelat pekat itu telah terpotong cepak, tidak tumbuh lebat seperti dulu. Kemarin, baru saja Ayahnya memangkas rambutnya, tertawa lebar lalu menepuk bahunya bangga, berkata bahwa anak lelakinya tampak tampan, lebih tampan dari masa mudanya dulu.

Tersenyum pedih, lalu mendongak menatap dahan apel yang kian merendah, terbebani oleh buah bulat yang telah ranum itu, memantulkan kilau mentari pagi pada kulitnya yang berwarna merah darah, nyaris merah pekat. Oh sial, haruskah ia berangkat sekarang? Biasanya ia dan adiknya akan duduk dibawah sini, memetik apel dan berbicara panjang lebar, mengingat rentang umurnya dan gadis itu hanya terpaut beberapa menit saja.

Ia, dan adiknya, kembar. Ia, dan gadis itu, bagai belahan jiwa. Ia tanpanya, tak lengkap.

Menyeringai menahan air mata, segera disambarnya salah satu apel, memuntirnya di atas telapak tangan tepat ketika klakson mobil menderu menyambar telinganya, memberi kode kepada lelaki itu untuk segera berangkat, meninggalkan segala memori manis di tempatnya berdiri saat ini, menyongsong lembar kehidupan lain.

“Ya, Appa! Tunggu sebentar!” teriaknya serak, berlari perlahan melintasi rerumputan lembut berwarna hijau zamrud dibawahnya, berhati-hati untuk tidak mengotori pakaian beserta sepatu bot. Tersengal mengitari taman, jantungnya terasa menyerpih seiring langkah berat itu berlanjut, membawanya menuju beranda, dimana mobil bobrok milik Ayahnya menderum lemah, dimana Ibu dan Adiknya berdiri di depan pintu.

Tidak ada pilihan lain.

Mengulir senyuman tipis, lelaki itu menjejak tangga beranda, menghambur ke dalam pelukan Ibunya tatkala wanita itu mulai terisak, terguncang tak terkendali di bahunya. Kehilangan anak lelakinya, kehilangan sosok kekanakan lelaki berusia delapan belas tahun itu.

Hatinya terasa rontok, menghunjam telak ke dasar perut ketika ia menyadari tatapan sendu Adiknya, bukan lagi tatapan menuduh ketika ia menyembunyikan salah satu bonekanya ke bawah kolong tempat tidur, bukan juga tatapan sedih ketika ia terjatuh dari sepeda roda tiga dulu itu, meringis kesakitan tatkala cairan merah darah meleleh turun melalui lututnya.

Itu tatapan lain, tatapan yang tak lagi dapat dituangkan dalam kata-kata. Begitu sendu, kelam, dan hampa, seakan raga gadis itu tak ada lagi disana, terenggut begitu saja melalui ubun-ubunnya. Seperti tatapan kosong yang penuh oleh makna, menyakitkan sekaligus membingungkan ketika ia bersitatap dengan manik mata kembaran seperti miliknya.

Jinri—” merenggut bahu ringkih gadis itu, ia membenamkannya ke dalam pelukan spesial kakak adik itu, membiarkan air mata gadis itu membasahi lengan seragamnya, membiarkan perasaan kalut ini bersatu dengannya, seperti dulu, dulu, sewaktu surat resmi ketentaraan itu tersembul janggal disela lubang kotak surat. Bercap merah terang, diketik dengan rapi, dan bertanda tangan meliuk-liuk.

“Sehun-ya, kau berjanji kan, akan pulang setelah perang itu berakhir? Tidak ingkar seperti Luhan?” isaknya, menatap lekat manik mata Sehun, mencari kepastian, kepastian yang telah diselimuti oleh saput rasa tak yakin, begitu muram, begitu bukan Sehun. Memilah kata-kata, Sehun menganggukkan kepala, mengecup sekilas pipi gadis itu, semu oleh rasa tidak yakin,  “Janji.”

Sekejap kemudian, baret merah itu melambai menantang udara, mengucapkan perpisahan.

fin.

.

.

.

a/n : Hi! Mind to review? Thanks~

xoxo, Rindra

8 thoughts on “March 1939

  1. whoaa, what a long time! kukira blog ini udah g aktif lagi, begitu aku ngecek langsung nemu FF ini, pyuh…
    keren banget FFnya! HunLli twins? dan Lulu jadi kakak mereka kah? menyentuh banget biarpun pendek, sayang…. penggambaran situasinya terlalu sulit… *maklum, nggak biasa baca kata-kata dengan diksi tinggi* dan terlalu panjang.

    • haha benarkah? beberapa author banyak yang sibuk;___;
      makasih banyak! yup, hunlli twins! umm, kalo itu terserah pembaca sih /tabok/
      aduh, maaf ya kalo kata-katanya terlalu berbelit, susah dipahami.__.
      sekali lagi, terima kasih banyak!

  2. Hallo, Authornim!
    Saya pembaca baru di blog ini… Salam kenal! ^^
    Senang rasanya bisa nemu FF HunLli… Tapi HunLli jadi kembar di sini… Wkwkwk
    Lu Ge jadi kakak pertama kah?
    Ceritanya bagusssssssssssssss banget!
    Thumbs up!
    Keep it up, Authornim! Fighting!

Leave a reply to Rindra Cancel reply